PERAN ILMU
ALAMIAH DASAR DALAM MEMBANGUN SIKAP ILMIAH
Darlina
Kartika Rini
Dosen
STIT-SIFA Bogor
I. PENDAHULUAN
Ilmu
Alamiah Dasar merupakan kumpulan pengetahuan tentang konsep-konsep dasar dalam
ilmu pengetahuan alam dan teknologi yang membahas hubungan manusia dengan alam
sekitarnya. Tujuan mempelajari Ilmu Alamiah Dasar antara lain; memahami dan
mengikuti perkembangan IPTEK, memahami makna IPTEK dalam kehidupan, memahami
bahwa alam perlu dikelola, dan manusia perlu untuk memiliki sikap ilmiah dalam
kehidupan sehari-hari.
Ilmu
Alamiah Dasar merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam yang menerapkan
konsep metode ilmiah dalam pengembangannya. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Alam
diawali dengan sifat dasar manusia yang selalu memiliki rasa ingin tahu untuk
memenuhi kebutuhannya untuk menuju pada kemajuan berfikir dan peningkatan taraf
kehidupannya. Manusia memanfaatkan akal dan budinya untuk mengendalikan diri
dan beradaptasi dengan lingkungannnya. Kalau
tubuh manusia mendapat pengaruh negatif dari lingkungannya, maka akan timbul
reaksi tubuh yang mendorong manusia untuk melepaskan diri dari lingkungan yang
merugikan tersebut. Jadi sifat unik manusia terletak pada akal budinya dan
kemauannya menaklukkan jasmaninya.1
Perkembangan
alam pikiran manusia dapat juga disebabkan oleh rangsangan dari luar dirinya,
keadaan lingkungan, gejala alam dan interaksi dengan makhluk hidup lain di
sekelilingnya. Sepanjang masa kehidupan manusia, pola pemikiran dan penalaran
manusia dibagi menjadi dua jenis penalaran :
1. Penalaran Deduktif
(Rasionalisme)
Penalaran
Deduktif adalah cara berfikir yang bertolak dari pernyataan yang bersifat umum
untuk menari kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara
deduktif menggunakan pola berfikir yang disebut silogisme. Silogisme itu
terdiri atas dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
2. Penalaran Induktif (Empirisme)
Penalaran
Induktif adalah cara berfikir dengan manarik kesimpulan umum dari pengamatan
atas gejala-gejala yang bersifat khusus. Dari pengamatan secara sitematis dan
kritis atas gejala-gejala alam akan diperoleh pengetahuan tentang gejala itu.
Mungkin akan terlihat adanya karakteristik tertentu, adanya kesamaan, adanya
ulangan, dan adanya keteratutan dalam pola pola tertentu. Dengan demikian dapat
ditarik suatu generalisasi dari berbagai kasus yang terjadi. Dalam penalaran
Induktif akan dapat disusun pernyataan yang lebih umum dan makin bersifat
funfamental.2
Jadi suatu pengetahuan dapat digolongkan
sebagai ilmu jika cara memperolehnya menggunanakan metode keilmuan, yaitu
gabungan antara penalaran deduktif (Rasionalisme) dan penalaran induktif
(Empirisme). Jadi secara khusus dapat disimpulkan bahwa himpunan pengetahuan
dapat disebut sebagai Ilmu Pengetahuan Alam jika memenuhi persyaratan bahwa
obyeknya adalah pengalaman manusia terhadap gejala-gejala alam yang
dikumpulkan melalui metode keilmuan
serta mempunyai manfaat untuk kesejahteraan manusia.
II.
METODE ILMIAH SEBAGAI CIRI
ILMU PENGETAHUAN ALAM
Berfikir
secara rasional dan berfikir secara empiris merupakan dua hal yang saling
bertentangan, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Sehingga pada
akhirnya timbul gagasan untuk menggabungkan keduanya, sehingga tersusun suatu
metode yang dapat digunakan untuk menemukan pengetahuan dengan benar. Gabungan
antara penalaran deduktif dan penalaran induktif disebut dengan metode ilmiah.
Rasionalisme memberi kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedangkan
empirisme berfungsi untuk menguji kebenaran pemikiran rasionalisme. Sehingga
menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan sistematis, karena telah teruji
secara empiris.
Metode
ilmiah merupakan cara dalam memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Untuk
menemukan pengetahuan melalui metode ilmiah harus melalui prosedur yang sesusai
dengan kaidah-kaidah metode ilmiah2 :
1. Penentuan Masalah
Penemuan masalah secara empiris
menyebabkan manusia melakukan pemikiran yang mendalam dan mengkajinya secara
rasional. Kemudian melakukan penelaahan ruang lingkup dan batasannya untuk
mempermudah perumusan masalah.
2. Perumusan Kerangka Masalah
Suatu
masalah merupakan suatu gejala dimana beberapa fakta saling berkaitan satu sama
lain dan membentuk kerangka masalah. Dalam proses ini sudah dimulai proses
berfikir secara empiris dan rasional.
3. Pengajuan Hipotesis
Hipotesis adalah kerangka pemikiran
sementara yang menjelaskan hubungan antara unsur-unsur yang membentuk suatu
kerangka permasalahan. Pengajuan hipotesis berdasarkan pada permasalahan yang
bersifat rasional. Kerangka pemikiran sementara yang diajukan tersebut disusun secara
deduktif berdasarkan pernyataan-pernyataan atau pengetahuan yang telah
diketahui kebenarannya. Setelah pengajuan hipotesis dilanjutkan dengan deduksi
hipotesis yang merupakan identifikasi fakta-fakta yang berkaitan dengan
hipotesis
4. Pengujian Hipotesis
Langkah ini merupakan usaha untuk
mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan deduksi hipotesis. Jika
fakta-fakta tersebut sesuai dengan konsekuensi hipotesis, berarti bahwa
hipotesis yang diajukan adalah benar, karena didukung oleh fakta-fakta yang
nyata. Sebaliknya jika fakta yang ada tidak sesuai dengan hipotesis yang
diajukan, maka dikatakan bahwa deduksi hipotesis ditolak. Jika kebenran suatu
hipotesis terbukti, maka hipotesis tersebut dapat dianggap sebagai teori ilmiah
dan merupakan pengetahuan baru.
5. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan yang diperolah merupakan
intisari kajian terhadap pembahasan hipotesa yang merupakan pemecahan masalah
dan pembahasan masalah seperti yang diuraikan dalam kerangka masalah yang
ditentukan sebelum penentuan hipotesa.
Berdasarkan Metode Ilmiahnya, Ilmu Pengetahuan dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu : Ilmu Pengetahuan kualitatif dan Ilmu Pengetahuan kuantitatif. Ilmu
Pengetahuan kualitatif mengunakan metode ilmiah berdasarkan teori-teori empiris
yang dikutip dan dirangkum dalam suatu teori baru yang bersifat kualitatif. Ilmu Pengetahuan kuantitatif mengunakan
metode ilmiah yang berdasarkan pada analisis matematika, probabilitas atau
statistik.
III.
RUANG LINGKUP ILMU ALAMIAH
DASAR
1.
Hukum Termodinamika I dan II
Pada dasarnya Ilmu Alamiah Dasar
mempelajari manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Manusia
sebagai organisme hidup berada dalam habitat lingkungan yang mengelilinginya
dan berinteraksi dengan lingkungannya. Organisme Hidup adalah hasil dari
evolusi kehidupan yang merupakan suatu proses perubahan bentuk kehidupan
menjadi kehidupan yang lainnya melalui proses jutaan tahun. Kehidupan (BIOSFER) adalah suatu SISTEM dan komponen organismenya
adalah SUBSISTEM. Organisme dibentuk oleh Materi dan Energi yang tersedia di
Bisofer. Dalam BIOSFER berlaku Hk. Termodinamika I dan II.
Selanjutkan pembahasan terkait dengan Hukum Termodinamika I yang
menyatakan bahwa “Di dalam Biosfer tidak ada energi yang hilang, jumlah energi itu
tetap, yang berubah hanya bentuknya”.
Sedangkan Hukum Termodinamika II menyatakan bahwa “Pada
kondisi normal semua sistem yang dibiarkan tanpa gangguan cenderung menjadi tak
teratur, terurai, rusak sejalan dengan waktu”.
Hal demikian mutlak akan dialami semua
makhluk hidup dan proses ini tidak dapat dibalikan. Hukum ini juga dikenal sebagai “Hukum
Entropi”. Entropi adalah selang ketidakteraturan dalam suatu sistem. Entropi
sistem meningkat ketika suatu keadaan yang teratur, tersusun dan terencana
menjadi lebih tidak teratur, tersebar dan tidak terencana. Semakin tidak
teratur semakin tinggi pula entropinya. Hukum entropi menyatakan bahwa seluruh
alam semesta bergerak menuju keadaan yang semakin tidak teratur, tidak
terencana dan tidak terorganisir.3
Berdasarkan Hukum Kedua Termodinamika ini, sains menetapkan dengan jelas
bahwa alam semesta ini tidak mungkin bersifat abadi. Ada perpindahan energi
panas yang terus menerus dari benda-benda yang panas menuju benda-benda yang
dingin, serta tidak mungkin terjadi hal yang sebaliknya dengan kekuatan apapun,
di mana energi panas berbalik arah dari benda-benda yang dingin menuju
benda-benda yang panas. Hal tersebut berarti bahwa alam semesta berjalan menuju
suatu tingkatan yang memiliki panas sama pada seluruh benda dan meratalah
seluruh sumber kekuatan yang ada. Pada saat itu, tidak ada proses kimiawi atau
fisika serta tidak ada pula jejak-jejak kehidupan itu sendiri di alam semesta
ini.
Ketika kehidupan telah berlalu atau masih berlangsung, proses kimiawi
dan fisika itu masih berlangsung di jalurnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa alam semesta ini tidak mungkin bersifat abadi. Karena kalau ia abadi,
maka hilanglah seluruh kekuatannya sejak dahulu kala dan berhentilah seluruh
proses kreatif yang berlangsung di dalamnya. Apa yang disampaikan sains tidak
terbatas pada suatu ketetapan bahwa alam semesta ini memiliki permulaan. Namun
ia telah menetapkan sesuatu yang melampauinya bahwa ia tercipta secara
sekaligus sejak kurang lebih 18 milyar tahun yang lalu. Kenyataannya bahwa alam
semesta masih menjalankan proses perkembangannya secara terus menerus dan
dimulai dari pusat pertumbuhan. Oleh sebab itu seseorang yang mempercayai
hasil-hasil sains harus percaya pula terhadap konsep penciptaan. Konsep itu
tunduk kepada hukum alam [sunnatullah], karena hukum-hukum tersebut merupakan
akibat dari konsep penciptaan.
Konsekuensi logisnya manusia harus menerima konsep tentang pencipta yang
telah menentukan hukum alam semesta, karena hukum itu sendiri adalah
ciptaanNya, sehingga tidak mungkin ada benda ciptaan tanpa ada penciptanya, yaitu
Tuhan. Allah Swt telah menciptakan materi di alam semesta beserta berbagai
hukum yang menguasainya, bahkan Dia-lah yang menjalankan seluruh hukum tersebut
demi keberlanjutan proses penciptaan melalui jalur evolutif-teleologis. Dewasa
ini kebanyakan ahli kosmologi dan ahli astronomi kembali ke teori bahwa
sebenarnya memang ada penciptaan, sekitar delapan belas milyar tahun yang lalu,
ketika jagad raya fisik meledak menjadi eksistensi dalam sebuah letusan
mengagumkan yang secara populer dikenal sebagai “dentuman besar” [big bang]
yang dijelaskan Hubble. Ada banyak rangkaian bukti untuk mendukung teori yang
menarik ini. Apakah orang-orang menerima seluruh detail-detailnya atau tidak,
hipotesis yang mendasar [bahwa ada jenis penciptaan tertentu] dari sudut pandang
ilmiah tampaknya memang mendesak. Alasan itu bersumber langsung dari bangunan
besar bukti ilmiah yang diliputi oleh hukum fisika yang dikenal paling
universal [hukum kedua termodinamika]. Dalam pengertian luasnya, hukum ini
menyatakan bahwa setiap hari jagad raya menjadi semakin kacau. Ada sejenis
turunan yang gradual tetapi juga pasti menuju chaos.
Para ahli fisika telah menemukan rumusan matematis yang disebut entropi
untuk mengkuantifikasi kekacauan, dan banyak eksperimen yang cermat membuktikan
bahwa entropi total dalam sebuah sistem tidak pernah berkurang. Jika sistem itu
diisolasikan dari keadaan sekitarnya, perubahan-perubahan apapun yang terjadi
di dalamnya dengan tanpa belas kasihan akan menggeser entropi sampai ia tidak
dapat bergerak lebih tinggi. Setelah itu tidak akan ada lagi perubahan lebih
jauh: sistem akan mencapai kondisi keseimbangan termodinamika. Sebuah kotak
yang berisikan campuran bahan kimia memberikan sebuah contoh yang baik.
Bahan-bahan kimia itu akan bereaksi, panas tertentu mungkin dihasilkan, zat-zat
yang berupa unsur pokok akan menggantikan bangun molekulnya dan seterusnya.
Seluruh perubahan-perubahan ini menambah entropi di dalam kotak itu. Pada
akhirnya, muatan-muatan menjadi tenang pada temperatur yang seragam dan bentuk
kimia finalnya dan tidak ada sesuatu yang terjadi lebih lanjut. Untuk
mengembalikan muatan-muatan tersebut ke kondisi awalnya bukan mustahil, tetapi
itu berarti membuka kotak dan mengembangkan energi dan bahan-bahan untuk
membalik perubahan-perubahan yang telah terjadi. Manipulasi ini akan
menghasilkan lebih banyak entropi dari yang secukupnya untuk mengimbangi
reduksi entropi di dalam kotak.3
Jika jagad raya memiliki stok tatanan yang terbatas, dan sedang berubah
dengan tanpa dapat dikembalikan menuju kekacauan, dua pengaruh yang sangat
dalam berlanjut secara langsung. Pertama bahwa jagad raya pada akhirnya akan
mati, bergelimang sebagaimana adanya, dalam entropi yang dimilikinya sendiri.
Inilah yang dikenal dikalangan ahli fisika sebagai “kematian panas” jagad raya
[the “heat death” of the universe]. Kedua adalah bahwa jagad raya tidak dapat
eksis untuk selama-lamanya, kecuali jika ia telah mencapai kondisi akhir
keseimbangannya pada waktu tak terhingga di masa lampau. Kesimpulannya: jagad
raya [beserta kandungan di dalamnya, energi, materi, dan sebagainya] tidak
senantiasa eksis [tidak kekal].
Pendekatan rasionalistik dalam menganalisis berbagai fenomena alam tidak
selamanya memadai. Pelajaran dan hikmah terkandung dalam ayat kauniah
bertebaran dari ujung Timur sampai Barat. Sebagai salah satu ayat kauniah,
hukum termodinamika memegang peranan penting sebagai poros akhir pembenaran
deterministik tentang akhir alam semesta. Hukum kedua, meskipun pada awalnya
diterapkan pada sistem tertutup dapat meramalkan limit hilangnya panas
bintang-bintang. Tanpa sistem konservasi panas yang memadai lama kelamaan
tatanan semesta akan mengalami kedinginan kian menyusut. Seakan ini sudah
terjadi, manusia dengan segala kelebihan rasionalitasnya tidak berdaya.
Bukankah hal demikian secara tidak langsung diakibatkan oleh manusia sendiri?
Bukankah tangan-tangan manusia sendiri yang mengekploitasi alam sesuai dengan
kehendaknya? Hal ini menunjukkan kelemahan segala potensi yang dimiliki
manusia. Oleh sebab itulah selain pendekatan rasionalistik, pendekatan teologis
keimanan mesti memainkan peranan. Dalam segala aspek sudah semestinya pelajaran
dan hikmah ayat kauniah dapat mempertebal keimanan. Ayat kauniah hukum
termodinamika dapat menjadi modal tambahan bagi terbentuknya keimanan yang utuh
yang semula memandang sepelenya ayat tersebut. Allah Swt menegaskan:
“Dan rahasia langit dan bumi adalah kepunyaan
Allah semata; dan kejadian Kiamat itu datangnya seperti kedipan mata” (QS.
An-Nahl: 77).
Hukum kedua termodinamika memang secara tidak langsung meramalkan
terjadinya ‘kiamat’. Tetapi harus diingat adalah hukum ini meramalkan beberapa
tahun ke depan kejadiannya dari hasil pengamatan terhadap fenomena panas dalam
suatu sistem tertutup. Apabila dibalik, dalam arti apabila sistem dapat
melakukan konservasi panas maka ‘kiamat’ tidak akan terjadi. Apabila kerja yang
dilakukan sistem tidak menghilangkan atau kehilangan panas, maka kembali pada
konsideran diktum hukum pertama termodinamika, semuanya akan kekal. Inilah
salah satu metode dialektis yang dikembangkan materialisme positivistik. Secara
tidak langsung mereka mengingkari adanya suatu kekuatan dibalik fenomena
empirik yang bersifat transendental-adi kodrati.3
Dalam beberapa kalamNya, Allah Swt mengisyaratkan berbagai ragam
fenomena ilmiah semesta sebagai hasil kreasi yang telah sedemikian rupa
mengatur menuju kesempurnaan. Karena Dia memang Maha Sempurna. Dengan sifat
KehendakNya begitu mudah alam semesta dicipta dan diatur. Begitu pula mudahnya
bagi Dia mengadakan yang tiada dan meniadakan yang ada. Allah Swt berfirman:
“Dan apabila samudera menjadi meluap” (QS. Al
Infithar: 3)
“Apabila bumi digoncangkan dengan
goncangannya. Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan bumi serta
gunung-gunung diangkat dan dibenturkan sekali bentur, maka datanglah kejadian
yang dahsyat, dan terbelahlah langit karena ketika itu ia lemah”(QS. Al
Haqqah:13-16).
Maha benar Allah dengan segala firmanNya. Argumentasi saintisme serta
nalar logika secara umum menekankan terjadinya proses dalam menganalisis suatu
fenomena sebelum menarik kesimpulan. Berbeda dengan hal itu, Allah Swt itu
proses sekaligus pencipta proses sendiri.
Hukum kedua termodinamika memprediksikan struktur tatanan alam semesta
menuju kepada sistem kekacauan (chaos). Energi yang dilepaskan sistem akan
berakibat entropi bertambah, maka akhirnya keseimbangan sistem berubah menjadi
ketidakteraturan. Implikasi ini dihasilkan manakala manusia memandang suatu
sistem secara mekanis. Dalam hal ini, sistem (baik sistem organisasi hidup
maupun tidak hidup) dipandang tak ubahnya seperti sebuah mesin yang berada di
‘luar sana’. Sistem berada dalam dunianya sendiri, di luar dunia manusia.
Inilah salah satu sintesa hasil ‘perselingkuhan’ empirisisme, positivisme, dan
materialisme yang banyak menimbulkan krisis multi dimensi seperti terjadi
akhir-akhir ini.3
2. Keteraturan dan
Ketidakteraturan3
Hukum Kedua Termodinamika berlaku untuk sistem tertutup tidak menjangkau
“sistem terbuka”. Seperti makhluk hidup di bumi sebagai sebuah keteraturan yang
begitu kompleks. Pemunculan spontan bentuk-bentuk keteraturan kompleks itu
seolah merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum kedua termodinamika. Sistem
terbuka merupakan suatu sistem termodinamis dimana materi dan energi dapat
keluar masuk. Evolusionis menyatakan bahwa bumi adalah sistem terbuka. Bumi
terus menerima energi dari matahari, sehingga hukum entropi tidak berlaku pada
bumi secara keseluruhan; dan makhluk hidup yang kompleks dan teratur dapat
terbentuk dari struktur mati yang sederhana dan tidak teratur. Namun ada
penyimpangan nyata dalam pernyataan ini. Fakta bahwa sistem memperoleh aliran
energi tidaklah cukup untuk menjadikan sistem ini teratur. Diperlukan mekanisme
khusus untuk membuat energi berfungsi (Harun Yahya, 2000:11)
Aliran energi matahari ke bumi tidak dapat menciptakan keteraturan
dengan sendirinya. Setinggi apapun suhunya, asam-asam amino tidak akan
membentuk ikatan dengan urutan teratur. Energi saja tidak cukup untuk
pembentukan struktur lebih kompleks dan teratur, seperti asam amino membentuk
protein atau protein membentuk struktur terorganisir yang lebih kompleks pada
organel-organel sel. Sumber nyata dan penting dari keteraturan pada semua
tingkat adalah rancangan sadar, dengan kata lain, penciptaan.
Adanya pelanggaran hukum kedua termodinamika menandakan terjadinya
pertentangan antara hukum kedua termodinamik dengan evolusi. Dimana evolusi
kehidupan adalah proses menuju situasi makin teratur dan makin kompleks,
sedangkan hukum kedua termodinamika bahwa alam semesta ini akan melahirkan kekacauan.
Hal ini melatar belakangi lahirnya termodinamika nonlinier untuk menggambarkan
fenomena pengaturan diri dalam sistem terbuka yang jauh dari kesetimbangan yang
dikenal dengan “dissipative stuctures’.
IV.
DAMPAK
KEMAJUAN DAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (SAINS) DAN TEKNOLOGI TERHADAP
KEHIDUPAN MANUSIA
Kemajuan IPA dan Teknologi terus berlangsung seiring pertumbuhan
penduduk dan rasa ingin tahu manusia yang terus ada untuk mencapai kehidupan
yang maju dan lebih baik. Pengembangan IPA(Sains) dan teknologi memberi
kemudahan, kemakmuran, dan kenyamanan. Tetapi sebaliknya IPA (sains) dan
teknologi juga memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Sehingga di
masa yang akan datang dunia akan mengalami permasalahan pokok akibat
perkembangan IPA (Sains) dan teknologi antara lain ;
1.
Keterbatasan sumber daya alam dan energi
2.
Peledakan jumlah penduduk yang tak terbendung
3.
Polusi dan pencemaran udara, tanah, dan air
Berdasarkan
dampak negatif di atas maka manusia perlu mengupayakan adanya :
1. Pembaharuan sumber daya alam dan
memperhatikan pelestarian sumber daya alam.
2. Pengelolaan sumber daya manusia dan
peningkatan kesejahteraan dan pemerataan penduduk.
3. Penanganan polusi dan pencemaran lingkungan
melalui penyuluhan dan pendidikan akan kecintaan terhadap lingkungan.
4. Perlu memiliki sikap ilmiah demi
kesinambungan dan keseimbangan proses kehidupan manusia. Adapun sikap ilmiah
tersebut meliputi : a. Rasa ingin tahu
yang tinggi
b.
Bersikap obyektif dan universal
c. Berpedoman pada kebenaran
d. Berpikiran terbuka
e. Bersikap optimis
f. Jujur
g. Toleran
h. Kreatif, Inovatif, Inisiatif
dan Produktif
1 Drs. Margono dkk, Ilmu
Alamiah Dasar, UNS, Surakarta, 1992, hal.2
2Drs. Abdullah Aly dan Ir.
Eny Rahma, Ilmu Alamiah Dasar,PT Bumu Aksara, 1991, hal. 11
3
https://jamiludin.wordpress.com/2010/10/11/hukum-kedua-termodinamika/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar